Salah satu nama suci Tuhan masyarakat Hindu Indonesia khususnya di Bali adalah Hyang Widhi, lengkapnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Nama suci Tuhan yang populer lainnya seperti Sanghyang Tunggal (Dia Yang Esa), Sang Hyang Parama Kawi (Dia Pencipta Tertinggi), Sang Hyang Acintya (Dia Tak Terpikirkan), Sang Hyang Parama Wisesa (Dia Penguasa Tertinggi), Sang Hyang Tuduh (Dia Yang Menentukan Takdir), dan lain sebagainya. Penggunaan nama suci Tuhan; Parama Kawi dan Parama Wisesa, juga digunakan oleh pujangga-pujangga Jawa dahulu.
Sang Hyang Widhi, berasal dari akar kata "Sang", "Hyang", dan "Widhi".
-Sang, memiliki makna personalisasi atau identifikasi.
-Hyang, terkait dengan keberadaan spiritual yang dimuliakan atau mendapatkan penghormatan yang khusus. Biasanya, ini dikaitkan dengan wujud personal yang bercahaya dan suci.
-Widhi, memiliki makna penghapus ketidaktahuan. Penghapus ketidaktahuan memiliki wujud yang beragam menurut jalan ketidaktahuan diselesaikan. Wujud-wujud ini menjadi media bagaimana manusia dan ciptaan di jagat raya ini mengerti dan memahami diri dan lingkungannya. Widhi dapat berupa: cahaya, suara, wujud tersentuh, sensasi tersensori, memori pikiran, rasa emosional, radiasi bintang, pengartian tanda, rasa kecapan, dan lain-lain. Widhi ini sangat terkait dengan dharma, atau lingkungan yang merupakan pustaka abadi dimana manusia dapat membaca keseluruhan pengetahuan tentang widhi.
Dharma secara keseluruhan adalah widhi itu sendiri. Terkait dengan proses belajar, dharma tampaknya terpartisi menjadi arus berlanjut yang hadir kepada manusia tanpa henti hingga masa manusia itu berakhir. (Wikipedia).
Ada yang berpendapat bahwa nama suci Tuhan, Sang Hyang Widhi, tidak ditulis dalam lontar-lontar ketuhanan Hindu Bali. Jika kita cermati beberapa lontar ketuhanan memang hampir tidak ditemukan kata yang menyebut Tuhan sebagai Hyang Widhi. Dalam lontar, Tuhan lebih sering disebut Bhatara, sebutan ini terutama diperuntukan untuk dewa Shiwa, yang dalam Lontar Wraspati Tattwa disebut Bhatara Shiwa, Bhatara Iswara, Bhatara Maheswara (Mahadewa), Paramaiswara (prameswara), yang kesemuanya merupakan nama lain dari dewa Shiwa, Tuhan tertinggi dalam konsep Siwaisme, khususnya Siwa Sidhanta. Yang juga merupakan Tuhan tertinggi dalam kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Awatara dewa Wisnu sendiri menyembah Tuhan Shiwa, seperti Rama, Parasu Rama. Beliau dipuja dengan Lingga Yoni (perwujudan Sadha Shiwa). Pemujaan dengan Lingga-Yoni juga banyak ditemukan di Indonesia pada jaman dulu.
Mengenai nama suci Tuhan umat Hindu di Indonesia, dalam Lontar Wraspati Tattwa hanya ditemukan kata Bhatara Widhi, sedangkan dalam Lontar Adi Parwa (Mahabharata) hanya ditemukan kata Widhi. Kata Widhi dalam lontar ini artinya mengarah pada aturan atau hukum. “Kalinganing widhi sangkeng agama. catur warsesu doseca bhawisyad iti patakah. Yadi kang rare magawe dosa, ri padbelas tahun wayahnya, yogya tibana danda pare na kurwate papan. Yan kurang sangkeng padbelas tahun, tan tibana danda. Ya ta manemu papa, sang anibani danda.” : Menurut petunjuk widhi berdasarkan agama (kitab agama), anak kecil dianggap berbuat dosa, kalau sudah berumur empat belas tahun. Jika kurang dari empat belas tahun, tidak dibenarkan dijatuhi hukuman, itu akan menyebabkan mendapatkan neraka bagi orang yang menjatuhi hukuman. Lalu akan muncul pertanyaan apakah arti sebenarnya dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa? Menurut hemat saya, secara keseluruhan kalimat tersebut memiliki arti Beliau Tuhan Yang Maha Gaib, dalam lontar disebut sanghyang Acintya (dia yang tak terpikirkan). Hal ini merujuk pada pengertian Widhi. Dalam materi kuliah Weda, bapak Gede Sura menyatakan bahwa kata Widhi berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya gaib. Ida Sanghyang Widhi Wasa bisa juga diterjemahkan Beliau Tuhan Yang Maha Mengatur, merujuk pada pengertian Widhi yang mengacu pada aturan atau hukum. Sedangkan wasa artinya Tuhan.
Secara sederhana, Hyang Widhi dapat diartikan Yang Gaib (tak terpikirkan), juga Yang Mengatur. Ida Sang Hyang Widhi Wasa, beliau Tuhan yang Maha Gaib. Dalam sebuah mailing list ada yang mempermasalahkan penggunaan nama suci Tuhan; Ida Sang Hyang Widhi, disebabkan karena penggunaan nama ini tidak ditemukan dalam lontar (kitab suci lokal Hindu), dan juga diklaim bahwa nama Sang Hyang Widhi dipopulerkan oleh misionaris Kristen, sehingga orang Kristen di Bali terkadang menggunakan kata Sang Hyang Widhi untuk menyebut Allah, Allah Bapa.
Menurut Madra Suta (2007) “Orang Kristen mengklaim istilah “Sang Hyang Widdhi” diciptakan oleh missionaries Kristen pada tahun 1930an. Tetapi tidak dijelaskan siapa misionaris yang menciptakan istilah ini.” Hal itu tidak benar. Penggunaan nama suci Tuhan Sang Hyang Widhi atau tepatnya Hyang Widhi sudah biasa digunakan oleh masyarakat Jawa, terutama digunakan pujangga-pujangga Jawa tempo dulu. Bahkan kata Hyang Widhi ditemukan dalam ramalan Jayabaya atau Jangka Jayabaya dalam kitab Musarar, seperti pada kalimat berikut: Ora ngendahake hukum Hyang Widhi (Tak peduli akan hukum Hyang Widhi). Ramalan ini dipercaya disusun oleh raja Jayabaya dan digubah oleh Sunan Giri Prapen. Penggunaan kata Hyang Widhi juga ditemukan dalam kitab Wedhatama karya Sri Mangkunagoro IV, penggunaan ini untuk menyebut nama Tuhan, Allah dalam Islam. Menurut Anand Krishna (1998) bahwa Sri Mangkunagoro IV merupakan seorang pujangga, seorang penguasa bijak dari Keraton Mangkunegaran di Surakarta. Menurut catatan sejarah, beliau lahir pada tahun 1809 dan meninggal pada tahun 1881.
Salah satu pupuh dalam Wedhatama berbunyi sebagai berikut: Sajatine kang mangkana, Wis kakenan nugrahaning Hyang Widhi, Bali alaming asuwung, Tan karem karameyan, Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula-mulanira, Mulane wong anom sami. (Wedhatama 14). Ia yang telah mencapai kesadaran seperti itu, sesungguhnya memperoleh berkat Allah. Ia menikmati keheningan dalam dirinya dan tidak tertarik lagi pada keramaian di luar. Hawa nafsu yang tadinya mengendalikan dia, sekarang terkendalikan olehnya. Ia kembali kepada sifat dasarnya, yang sederhana dan halus. Pujangga Sastra lainnya seperti Ngabehi Rangga Warsita juga biasa menggunakan kata Hyang Widhi untuk menyebut Tuhan, Allah. Pujangga-pujangga seperti beliau-beliau menyadari atau telah mencapai kesadaran tentang pengetahuan suci, tentang hakekat tertinggi bahwa Tuhan itu memiliki banyak nama, namun Tuhan hanyalah esa tiada duanya.
Seperti dinyatakan dalam semboyan negara kita; Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa: Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran (Tuhan) yang kedua. Hal serupa juga disebutkan dalam Veda; Ekam santam bahuda kalpayanti; Yang Esa (Tuhan) disebut banyak nama oleh para bijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar